Aku merasakan kegelapan disekelilingku.. dimana ini ayah, bunda aku takut.. aku berusaha untuk meronta tapi tetap saja sepi dan selap mencekamku…
Aku ingin berlari sekuat tenagaku tapi aku tak menemukan jalan keluar.. aku menangis sejadi-jadinya..
“ya Alloh tolong aku….” Gumamku dengan bibir bergetar
Ketika aku mulai lengah karena merasa lelah aku melihat seberkas cahaya menghampiriku, apa ini? Tiba-tiba tubuhku terasa hangat dan nyaman.. ku merasakan sentuhan hangat ditanganku, dan perlahan aku melihat sebuah atap putih. kulihat sekelilingu… bunda ayah kenapa mereka disini? Kenapa bunda menangis? Kepalaku dipenuhi pertanyaan itu.. senyumku mengembang aku berusaha meraih keduanya ingin ku memeluknya tapi kenapa ini, apa yang sebenarnya terjadi? Badanku terasa berat aku tak mampu mengangkatnya.. air mataku pecah menjadi butiran halus dipipiku. ada apa ini? Kulihat ayah merangkul bunda dan berusaha menenangkannya.. bunda mendekatiku mencium dahiku dengan lembut dan senyum mengembang di sela air matanya.
“sayang kamu udah sadar? Alhamdulillah yah panggil dokter” bunda member isyarat pada ayah
Apa dokter? Aku di rumah sakit? Ya Allah apa yang sebenernya tejadi dengan diriku? Aku dilemma dengan keadaanku
“ bbbuund adda apa ini.. kenapa syifa ada ddi rrumah sakkit?” aku berusaha bertanya pada bunda yang masih membelai kepalaku yang terlilit sebuah kain putih apa kain putih? Apa yang terjadi dengan kepalaku? Aku semakin dihantui pertanyaan-pertanyaan itu.
“sayang tiga hari yang lalu Alloh mengujimu, kamu mengalami kecelakaan bersama naya waktu pulang sekolah” kata bunda lembut
Aku diam, naya? Siapa naya? Aku tak ingat sama sekali orang yang namanya naya apa dia temanku? Aku tak ingat, yang aku ingat ayah, bunda itu saja…
“ naya?? Siapa naya bunda..” tanyaku
Bunda menunduk lalu menatapku lembut..
“Naya itu sahabatmu nak..”
Pembicaraan kami terpotong oleh suara langkah menuju kamarku.. ayah bersama seorang wanita berjas putih dan berjilbab ungu cantik, wajahnya teduh… aku tersenyum simpul
Lalu wanita itu mengeluarkan stethoscope dari dalam sakunya dan menempelkannya di dadaku lalu tersenyum lembut.
“Alhamdulillah kemajuan yang sangat pesat” katanya singkat
Senyum ayah dan bunda mengembang…
”ingatannya memang belum pulih tapi dalam waktu dekat 3 sampai 5 hari pasti segera pulih yang penting dari pihak keluarga mendukung untuk membantu memulihkan ingatannya” katanya ramah
Dokter menjelaskan penyakit yang kuderita katanya si Cuma kena benturan yang agak keras jadi memori otakku ada yang hilang. Karena jatuhnya terlalu keras jadi badanku terasa sakit,Setelah itu beliau keluar kamar katanya ada pasien yang musti diperiksa, heeemh sibuknya tapi kalau aku lihat tak ada tanda kelelahan dalam raut mukanya itu, hebat sekali.
gh
Kata dokter hari ini aku sudah boleh pulang kerumah, aduh senangnya ketika sampai di depan rumah sakit aku melihat seorang cewek seumuranku menunggu di dekat mobil sesekali angin menyibak jilbab cokelat yang dikenakannya, apa itu naya? dia tersenyum ramah padaku akupun membalasnya.
“bund itu naya ya..” aku bertanya pada bunda.
“iya, kamu sudah ingat? “ tanyanya.
“Cuma nebak bun, kan kata bunda naya sahabatku jadi siapa lagi kalo bukan dia” kataku sambil tertawa kecil.
Selama dua hari aku di rumah sakit bunda banyak bercerita tentang diriku, saudara-saudaraku, teman-temanku, sekolahku, beliau banyak bercerita tentang naya sahabat dekatku. Tapi semenjak aku dirumah sakit dia tidak datang kesini, kata bunda si dia sibuk banyak les.
Ketika aku mendekat ke mobil dia berlari kecil dan memelukku erat aku agak canggung, sepertinya dia sangat menghawatirkanku.
“syifa bagaimana keadaanmu? Sudah agak baikan kan?” tanyanya dengan nada khawatir.
Aku manjawab pertanyaannya dengan anggukan dan tersenyum. Lalu dia menuntunku ke mobil dan duduk disebelahku, ayah memacu mobil dengan pelan di mobil naya lebih banyak bercerita, dan aku hanya banyak diam mendengarkannya, sesekali aku menanggapi perkataannya, dia bercerita tentang sekolah dan persahabatan kita.
Tiga hari kemudian aku merasa lebih baik dan ingatanku mulai pulih akumasih aktif kontrol ke dokter setia sore, tiga hari ini naya yang menemaniku. Aku sudah ingat, aku ingat kita langganan ice cream di kedai biru, aku ingat naya paling suka ice cream rasa blueberry, aku sudah ingat semuanya, Alhamdulillah.
gh
Hari ini aku sudah masuk sekolah, senang bisa bertemu teman-teman, mereka semua ternyata sudah merindukanku (hehehe PD), ternyata tanpa terasa aku sudah absen selama 2 munggu, banyak pelajaran yang musti aku kejar, naya selalu membantuku, dia manjelaskan materi yang tertinggal padaku, baik sekali dia. Sesekali sore hari pulang dari perpustakaan aku dan naya mampir ke kedai biru.bercanda, dia selalu membuatku tersenyum, kata-kata bijaknya selalu terngiang di telingaku.
“sudah sore nih fa, pulang yuk” katanya sambil beranjak dari tampat duduknya
Aku mengikutinya beranjak, dan hendak mengambil uang dari tasku.
“ sudah pake punyaku aja, sekali-kali aku yang nraktir kamu.” Katanya sambil mencegah uluran tanganku.
“Beneran nih….” Ledekku.
“nggak mau yaudah…” candnya kembali muncul
“ ok ok makasih yak tumben nih… banyak uang ya…” aku kembali meledeknya
Dia hanya tersenyum tipis
“mumpung lagi ada rejeki…” senyumnya mengembang
Kami melangkahkan kaki dengan sederhana mengikuti irama angin yang lembut. Sampai akhirnya kami terpisah di pertigaan yang menjadi pemisah rumah kami.
Sesampinya dirumah aku melihat ayah sibuk mengelap mobil kesayangannya dan bunda mengatur-ngatur jajaran pot bunga di teras.
Setelah mengucap salam dan mencium tangan keduanya aku bergegas masuk kedalam.
Keesokannya pagi-pagi buta getar handphone di mejaku membangunkanku, telefon? Nomernya tak dikenal. Aku mengangkatnya.
“Assalamu’alaykum?” tanyaku pelan
“hhaalo hallo wa’alaykumsalam bisa bicara dengan syifa?” suara di seberang sana tarasa gaduh tapi sepertinya suara seorang bapak-bapak itu mencoba mencari tampat yang lebih tenang.
“iya saya seniri, maaf dengn siapa ya?” tanyaku
“Ini gini mbak syifa jadi gini, saya pamannya naya, pagi ini jam 6 naya harus pergi ke kalimantan dan dia titip semacam apa itu apa…. Bingkisan ya bingkisan , jdi saran naya mbak syifa disuruh mengambilnya di kedaiii… “ tuuuuuttt tuuuuuttt suara terputus, aku diam membisu seribu bahasa ada apa ini apa aku mimpi? Aku mencubit lenganku, sakit.. aku tidak mimpi ada apa ini…aku berusaha menelfon kembali nomor tersebut tapi sudah tidak aktif, aku juga berusaha menghubungi naya tapi hal serupa yang ku dapatkan.
“syifa?” tanya bunda mengagetkanku
“ada apa kenapa lemas begitu?”
Aku memeluk bunda erat-erat dan tak ingin melepaskannya.
“ada apa sayang, apa yang terjadi??”
“naya bunda.. naya mau pergi”
“pergi kemana?? Bunda tak mengerti” beliau membelai lembut kepalaku.
“ke kalimantan, pagi ini jam 6…” aku berusaha mengusap air mata yang menetes membasahi pipiku.
Bunda melirik jam di meja belajarku.
“baru setengah 5 pagi, kamu sholat subuh dulu, habis itu nanti jam 5 bunda suruh ayah mengantarmu ke rumah naya” bunda menghapus buliran tirta di pipiku. Aku hanya tersenyum padanya.
gh
Aku menyuruh ayah ngebut tapi ayah hanya tersenyum, dia mengemudikan mobil dengan penuh kewaspadaan. beliau mencoba menenangkanku, batinku berkecamuk mwronta ingin segera sampai di rumah naya, aku tak ingin berpisah dengan sahabat sebaik dia. Air mataku meleleh ketika kudapati rumah naya sudah tak berpenghuni, ayah memelukku mencoba menenangkanku.
“Sudah terlambat yah.. naya sudah pergi” kataku lesu
Ayah tersenyum tipis miris melihatku begini.
“jangn berlarut-larut begitu fa, Allah tidak akan menyukainya”
Aku berusaha tersenyum dan menghapus air mataku. Aku teringat pada telefon pagi tadi, katanya naya menitipkan sesuatu di kedai… pasti kedai biru, aku langsung menyuruh ayah mengantarku ke kedai itu, pelayan disana menyambutku dengan ramah.
“mbak syifa ya, sebentar tadi mbak naya kesini sekitar pukul 5 pagi katanya dia nitip ini buat mbak syifa.
Lalu dia mengulurkan sebuah kotak kecil warna ungu ke hadapanku. Warna ungu warna kesukaannya batinku bergeming.
Aku tak langsung membukanya, setelah berterima kasih aku dan ayah langsung pulang kerumah, aku langsung menuju kamarku dan membika kotak berbalut kertas ungu itu.sebuah bingkai foto berukuran 5x5 dan berisi foto aku dan dia sedang makan ice cream di kedai biru.. lalu secarik kertas warna ungu, aku mebukanya perlahan..
* untukmu sahabatku…. Assalamu’alaykum… Aku tahu mungkin ini terlampau cepat untukku, untuk persahabatan kita, bunga yang dulu mekar kini telah dihisap kumbang dan layu. Seperti itulah aku sekarang ini, siti nurbaya di zaman modern. Bapak menjodohkanku dengan seorang saudagar dipulau seberang, aku sudah berusaha menolaknya tetapi kata bapak, orang yang ingin menikahiku memaksa untuk segera membawaku padanya, bapak tidak bisa mencegahnya, beliau diancam dan tidak boleh lapor kepada polisi, beliau terlilit hutang, |
Hanya aku yang bisa menyelamatkannya fa, kalaupun aku menolak aku tetap akan menjadi korban, dia mengancam akan membunuhku, kamu jangan bersedih fa, Allah pasti selalu melindungiku, do’akan aku fa semoga aku baik2 saja, aku memang tak seberuntung kamu fa, selalu dalam kasih sayang ayah dan bundamu, kadang sungguh aku merasa iri,
Garis hidup kita memeng berbeda semua itu sudah tertulis dalam lauh mahfuzh, Allah punya rencana dibalik semua ini.
Hapus air matamu teman… Naya nurlaila |
Aku melipat lembaran kertas ungu itu,
Buliran itu meleleh dari pelupuk mataku, kasihan naya malang sekali nasib yang menimpanya,aku hanya bisa termangu mengharap Allah melindunginya, mataku tak mampu lagi menahan parih yang dia rasakan, aku mapu merasakannya.
Naya bersama air mataku ini aku ikut menipal apa yang sedang kamu rasakan, angin pum ikut merintih… sahabatku sayang sahabatku malang.
“sekarang bunda sudah pernah bertemu lagi dengannya?” tanya raisya
Aku menggelengkan kepala.
“apa bunda tidak sedih?” dia kembali bertanya dengan polos. Dan aku kembali menggelengkan kepala.
“kenapa harus sedih, bunda yakin Allah pasti melindunginya” kataku mantap. Senyumnya mengembang, aku membelai jilbab warna ungunya.
“jadi tunggu apa lagi, raisya nggak mau dong kalau berpisah dengan billa tapi lagi marahan??” tanyaku.
Dia menganggukan kepala dengan cepat. Dan berdiri, lalu memelukku erat.
“makasih ya bund raisya mau minta maaf sama billa deh, raisya sayang billa”
“nah gitu dong, itu baru anak bunda yang sholihah, minta maaf duluan bukan berarti kalah lho” senyumnya mengembang menyiratkan kepuasan dalam hatinya.
Dia kembali memelukku, mencoba menceritakkan apa yang dia rasakan, raisya rumaisya putri partamaku yang sudah beranjak remaja.
0 komentar:
Posting Komentar