Gemuruh itu tak sedikit datangnya
Seruan itu tak berhenti walau senja telah menanti
Suara penghantar nurani seolah tak habis
Sampai sang belalang berhenti mengunyah
Sampai patung kebesaran itu lumpuh
Kerelan antara panas ataupun dingin tak dihiaukannya
Turun kejalan adalah caranya
Demi kedamaian dalam benaknya yang akan terjadi
Sang belalang hanya tertawa dalam singgahsananya
Sambil mengunyah ia berucap
“aku kasih daun baru diam wahai walang sangit”
Sajak Sang Hujan
Dalam hening sajak ini kutulis
Ungkapan nada lewat kata
Entah berirama ataupun tidak
Sampai tetesan air dari ;angit mengusik keheningan hati
Teringat pula akan senyumnya
Senyum saat belum tahu itu dirimu
Nuansa segar nan alami terpancar darimu
Saat itu…
Saat hujan turun..
BUNDA
Sajak kecil untuk bunda
Kau yang duduk disana
Ditempat dimana aku penah dilahirkan
Kau yang tersenyum disana
Lembut belaianmu menghangatkan dinginnya tubuhku
Beku kaena persoalanku
Namun adanya dirimu lembutkan kebekuan ini
Dalam benaknya hanya bedoa untuk kita
Kelak menjadi yang beguna
Tak penah kutemukan sesuatu
Sesuatu yang pantas untukmu
Karena jasamu…
Ananda beikan sajak ini, bunda…
Agar bunda dan ananda adalah selamanya
kendaraan besar
Ruang itu jadi saksi kelahirannya
Ketika itu, suasana damai disekitar disekitar menyapanya
Canda tawa mengiringi kehidupannya
Bersama bocah-bocah itu
Namun, kemegahan bangunan itu tak membuatkemegahan hatinya
Suasana damai berangsu-angsur memanas
Kendaraan besar mencaplok bangunan kampong itu
Satu persatu candaan dan bocah yang menemani itu pergi
Tak kembali…
Dalam banyak kegalauannya ia bertekad
“kupertahankan tanah kelahiranku dari kemegahan bangunan itu”
-adi wibowo-
0 komentar:
Posting Komentar