Semarang, November 2011
Rin, kembali kuukir setiap titik dalam hati ini. Aku tahu,
aku tak bisa memungkirinya, dia hanya bayangan. Punggung, ya punggung yang
selalu menjadi hal paling indah yang bisa aku lihat. Tapi aku suka cara ini.
Karena hanya dengan ini aku bisa tetap memandanginya sesuka hatiku, karena
hanya dengan ini aku bisa merasakan dadaku berbunga.
Rin, tiba-tiba aku melihat semua menjadi biru. Bahkan ketika
aku telah menjauh, masih saja tak berubah. Aku melihatnya seperti kabut, yang
raib ketika cahaya beranjak. Lalu seketika ia menjelma awan, yang dengan
hati-hati mendaki gunung, menggulung-gulung merangkai arti. Menunggu bayu
berhembus dan membawanya pada satu titik, dimana dia tak bisa pergi. Saat itu,
saat ia terjatuh.
Dan kau tahu, rin? Titik itu hatiku. Bahkan aku tak memiliki
penjelasan akan perasaan ini. Tapi bukankah semuanya tak perlu alasan untuk
dijelaskan? Sepertinya hati ini kembali terjatuh, untuk yang kesekian kalinya
seperti yang kukatakan tadi. Dan aku membiarkannya jatuh pada orang yang sama,
apa aku ini bodoh? Tidak, bukankah hati ini tak pernah salah? Bukankah cinta
itu sesuatu yang indah, sesuatu yang membawa kita selalu bersyukur akan rasa
dan hidup. Bukan sesuatu yang membuat kita terpuruk, jatuh, dan tak bangkit.
Jika seperti itu adanya, aku justru ragu, apakah itu benar-benar cinta.
Rin, sudah kubilang aku takkan bisa, takkan bisa lindungi
hati. Bahkan jika hanya sekejap saja dia menatap mata ini. Tapi hari ini
berbeda. Kau tahu hanya sekejap saja ku menatap dua bola itu. Ah, betapa aku
tak pernah menatap yang seteduh itu. Benar saja aku tak bisa lindungi hati ini,
aku jatuh, kembali jatuh cinta untuk yang kesekian kalinya. Kau tahu? Aku tahu
warna matanya, cokelat tua, sama seperti punyaku. Aku rasa itu sudah lebih dari
cukup.
Rin, siang ini aku hampir menabraknya di pintu keluar
kampus. Dadaku tak bedesir, tidak sama sekali. Tapi senyum tak henti mengulum
dari bibirku. Kau tahu apa yang aku lakukan? Aku berlari ke kamar mandi dan
berteriak sekencang aku bisa, tapi tanpa suara, Aneh bukan? Ah biarlah, tak ada
yang melihatku. Hanya aku dan Tuhan yang tahu jika aku berjingkrak girang, dan
sekali lagi dadaku berbunga, ah apa-apaan ini, aku seperti tak ubahnya Anak
Baru Gede yang naksir senior keren
ketua osis jago basket yang super ganteng dan menjadi idola semua siswa
peempuan. Bukan itu, rin, bukan. Aku hanya menikmatinya, menikmati saat aku tak
bisa mengungkapkan kepada siapapun, hanya diriku sendiri. Saat aku bisa menatap
mata teduh itu, sekejap, ya, hanya sekejap.
Rin, aku tahu bahunya lebih kuat dari yang terlihat,
tangannya lebih kekar dari yang telihat, dan hatinya, ah aku bahkan
membicarakan hatinya, apa yang aku tahu mengenai benda yang satu ini? Dan benda
ini miliknya. Aku tak setitikpun berhak akan benda ini. Setidaknya aku yakin
hatinya lebih lembut dari apa yang aku rasa.
Satu hal yang tak pernah membuatku menyesali perasaan ini
hinggap di hati. Dia tak sekalipun pernah membuat aku menangis, bahkan dia tak
pernah membuatku merasakan sesak yang begitu menyakitkan dada. Sekalipun banyak
bebunga yang menggodanya, sekalipun dia bahkan tak pernah melihat ke arahku, sekalipun
dia tak pernah memikirkanku, dan sekalipun dia tak memilihku. Aku tak pernah
merasa sakit akan semua itu. Aku tersenyum, ya tersenyum. Entah apa arti senyum
itu, tapi hati ini lapang, lega, dan ikhlas. Sekali lagi, ini aneh bukan?
Sangat berbeda ketia aku dekat dengan seseorang, dan aku
mulai merasa tegantung akan kehadirannya. Kalau orang bilang aku terkena
syndrom “witing trisno jalaran saka
kulina” aku merasa hatiku terenggut dengan sangat kasar, hingga membekas
luka. Dan ini sakit. Entahlah, aku mulai berfikir apa karena ini bukan dari
hati? Tapi hanya dari emosi yang tiba di permukaan saja? Aku cemburu, aku
merasakan sakit, dan bahkan hal yang sangat aku benci, aku menangis karenanya.
Aku menangis ketika dia memberikan hatinya tanpa hati, ketika dia memberikan
hati tanpa dia sadari, ketika aku harus menerima dia memilih hati yang lain
untuk menaruh hati.
Rin, aku mengigatnya. Kau sering menanyakan mata teduh itu.
Karena mungkin hanya kau yang tahu. Aku hanya menceritakannya padamu, dari awal
hingga kini. Ah, aku hanya merasa tenang, itu saja. Aku tak tahu, aku terdorong
untuk memperbaiki diri ketika melihatnya, aku terdorong untuk menjaga hati
ketika aku mengingatnya. Aku ingat sore itu, aku pergi ke perpustakaan untuk
mencari literatur bahan kuliah, sendiri. Kebetulan hati memang sedang ingin
menyendiri, dan seperti yang kau tahu. Hanya dua tempat yang aku datangi ketika
aku sedang bad mood, perpustakaan dan
toko buku. Aku duduk agak lama sore itu, hingga akhirnya aku beranjak untuk
mengembalikan buku ke meja pengembalian, lalu berniat turun dan pulang. Kau
tahu, rin? Langkahku terhenti, begitu aku melihat punggung itu, punggung bidang
kukuh itu, aku mundur tiga langkah dan melihatnya dari sela rak buku. Dan, well seperti yang aku katakan tadi,
dadaku tak bergetar. Tapi, senyumku terus mengembang.
Penggemar rahasia, akukah itu? Ah, apa tidak terlalu
berlebihan? Tapi aku tidak terganggu dengan sebutan itu. Setidaknya ketika
hanya aku dan kau yang tahu, rin. Bukankah meski tak terucap, itu tetap cinta
kan? Tak berkurang setitikpun kadarnya. Itu kata seorang penulis. Tapi kau
tahu, rin? Aku suka cara ini, aku menikmati ketika aku diam dalam hal ini.
Ketika bahkan dia tak pernah tahu jika selama ini aku tak pernah luput darinya.
Ketika dia tak pernah tahu pandanganku selalu megikuti siluet tubuhnya
menghilang sepulang kuliah. Ketika dia tak penah tahu aku selalu tersenyum
melihatnya dari kejauhan.
Rin, aku hanya bisa menyebutnya di setiap sela do’a yang
kupanjat. Meskipun ingin, aku tak pernah memaksa hati ini untuk membuatnya
melihat ke arahku. Bahkan ketika Tuhan tak menakdirkan dia untuk bersanding di
sisi, aku tak bisa menolaknya, aku tak punya alasan untuk tidak menerimanya,
dan aku sama sekali tak berhak menumpahkan air mata, bukankah begitu, rin? Dia,
orang baik, dan pasti Tuhan akan mempertemukannya dengan orang yang baik juga.
Aku tahu.
Rin, bukankah ini menyenangkan? Aku tahu itu.
0 komentar:
Posting Komentar