Senin, 04 November 2013

Rin,

Semarang, November 2011
Rin, kembali kuukir setiap titik dalam hati ini. Aku tahu, aku tak bisa memungkirinya, dia hanya bayangan. Punggung, ya punggung yang selalu menjadi hal paling indah yang bisa aku lihat. Tapi aku suka cara ini. Karena hanya dengan ini aku bisa tetap memandanginya sesuka hatiku, karena hanya dengan ini aku bisa merasakan dadaku berbunga.
Rin, tiba-tiba aku melihat semua menjadi biru. Bahkan ketika aku telah menjauh, masih saja tak berubah. Aku melihatnya seperti kabut, yang raib ketika cahaya beranjak. Lalu seketika ia menjelma awan, yang dengan hati-hati mendaki gunung, menggulung-gulung merangkai arti. Menunggu bayu berhembus dan membawanya pada satu titik, dimana dia tak bisa pergi. Saat itu, saat ia terjatuh.
Dan kau tahu, rin? Titik itu hatiku. Bahkan aku tak memiliki penjelasan akan perasaan ini. Tapi bukankah semuanya tak perlu alasan untuk dijelaskan? Sepertinya hati ini kembali terjatuh, untuk yang kesekian kalinya seperti yang kukatakan tadi. Dan aku membiarkannya jatuh pada orang yang sama, apa aku ini bodoh? Tidak, bukankah hati ini tak pernah salah? Bukankah cinta itu sesuatu yang indah, sesuatu yang membawa kita selalu bersyukur akan rasa dan hidup. Bukan sesuatu yang membuat kita terpuruk, jatuh, dan tak bangkit. Jika seperti itu adanya, aku justru ragu, apakah itu benar-benar cinta.
Rin, sudah kubilang aku takkan bisa, takkan bisa lindungi hati. Bahkan jika hanya sekejap saja dia menatap mata ini. Tapi hari ini berbeda. Kau tahu hanya sekejap saja ku menatap dua bola itu. Ah, betapa aku tak pernah menatap yang seteduh itu. Benar saja aku tak bisa lindungi hati ini, aku jatuh, kembali jatuh cinta untuk yang kesekian kalinya. Kau tahu? Aku tahu warna matanya, cokelat tua, sama seperti punyaku. Aku rasa itu sudah lebih dari cukup.
Rin, siang ini aku hampir menabraknya di pintu keluar kampus. Dadaku tak bedesir, tidak sama sekali. Tapi senyum tak henti mengulum dari bibirku. Kau tahu apa yang aku lakukan? Aku berlari ke kamar mandi dan berteriak sekencang aku bisa, tapi tanpa suara, Aneh bukan? Ah biarlah, tak ada yang melihatku. Hanya aku dan Tuhan yang tahu jika aku berjingkrak girang, dan sekali lagi dadaku berbunga, ah apa-apaan ini, aku seperti tak ubahnya Anak Baru Gede yang naksir senior keren ketua osis jago basket yang super ganteng dan menjadi idola semua siswa peempuan. Bukan itu, rin, bukan. Aku hanya menikmatinya, menikmati saat aku tak bisa mengungkapkan kepada siapapun, hanya diriku sendiri. Saat aku bisa menatap mata teduh itu, sekejap, ya, hanya sekejap.
Rin, aku tahu bahunya lebih kuat dari yang terlihat, tangannya lebih kekar dari yang telihat, dan hatinya, ah aku bahkan membicarakan hatinya, apa yang aku tahu mengenai benda yang satu ini? Dan benda ini miliknya. Aku tak setitikpun berhak akan benda ini. Setidaknya aku yakin hatinya lebih lembut dari apa yang aku rasa.
Satu hal yang tak pernah membuatku menyesali perasaan ini hinggap di hati. Dia tak sekalipun pernah membuat aku menangis, bahkan dia tak pernah membuatku merasakan sesak yang begitu menyakitkan dada. Sekalipun banyak bebunga yang menggodanya, sekalipun dia bahkan tak pernah melihat ke arahku, sekalipun dia tak pernah memikirkanku, dan sekalipun dia tak memilihku. Aku tak pernah merasa sakit akan semua itu. Aku tersenyum, ya tersenyum. Entah apa arti senyum itu, tapi hati ini lapang, lega, dan ikhlas. Sekali lagi, ini aneh bukan?
Sangat berbeda ketia aku dekat dengan seseorang, dan aku mulai merasa tegantung akan kehadirannya. Kalau orang bilang aku terkena syndrom “witing trisno jalaran saka kulina” aku merasa hatiku terenggut dengan sangat kasar, hingga membekas luka. Dan ini sakit. Entahlah, aku mulai berfikir apa karena ini bukan dari hati? Tapi hanya dari emosi yang tiba di permukaan saja? Aku cemburu, aku merasakan sakit, dan bahkan hal yang sangat aku benci, aku menangis karenanya. Aku menangis ketika dia memberikan hatinya tanpa hati, ketika dia memberikan hati tanpa dia sadari, ketika aku harus menerima dia memilih hati yang lain untuk menaruh hati.
Rin, aku mengigatnya. Kau sering menanyakan mata teduh itu. Karena mungkin hanya kau yang tahu. Aku hanya menceritakannya padamu, dari awal hingga kini. Ah, aku hanya merasa tenang, itu saja. Aku tak tahu, aku terdorong untuk memperbaiki diri ketika melihatnya, aku terdorong untuk menjaga hati ketika aku mengingatnya. Aku ingat sore itu, aku pergi ke perpustakaan untuk mencari literatur bahan kuliah, sendiri. Kebetulan hati memang sedang ingin menyendiri, dan seperti yang kau tahu. Hanya dua tempat yang aku datangi ketika aku sedang bad mood, perpustakaan dan toko buku. Aku duduk agak lama sore itu, hingga akhirnya aku beranjak untuk mengembalikan buku ke meja pengembalian, lalu berniat turun dan pulang. Kau tahu, rin? Langkahku terhenti, begitu aku melihat punggung itu, punggung bidang kukuh itu, aku mundur tiga langkah dan melihatnya dari sela rak buku. Dan, well seperti yang aku katakan tadi, dadaku tak bergetar. Tapi, senyumku terus mengembang.
Penggemar rahasia, akukah itu? Ah, apa tidak terlalu berlebihan? Tapi aku tidak terganggu dengan sebutan itu. Setidaknya ketika hanya aku dan kau yang tahu, rin. Bukankah meski tak terucap, itu tetap cinta kan? Tak berkurang setitikpun kadarnya. Itu kata seorang penulis. Tapi kau tahu, rin? Aku suka cara ini, aku menikmati ketika aku diam dalam hal ini. Ketika bahkan dia tak pernah tahu jika selama ini aku tak pernah luput darinya. Ketika dia tak pernah tahu pandanganku selalu megikuti siluet tubuhnya menghilang sepulang kuliah. Ketika dia tak penah tahu aku selalu tersenyum melihatnya dari kejauhan.
Rin, aku hanya bisa menyebutnya di setiap sela do’a yang kupanjat. Meskipun ingin, aku tak pernah memaksa hati ini untuk membuatnya melihat ke arahku. Bahkan ketika Tuhan tak menakdirkan dia untuk bersanding di sisi, aku tak bisa menolaknya, aku tak punya alasan untuk tidak menerimanya, dan aku sama sekali tak berhak menumpahkan air mata, bukankah begitu, rin? Dia, orang baik, dan pasti Tuhan akan mempertemukannya dengan orang yang baik juga. Aku tahu.
Rin, bukankah ini menyenangkan? Aku tahu itu.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Alamanda Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template